
Pada masa
Habib Ali Alhabsyi (meninggal September 1968), sang kiai hampir tiap
Ahad pagi hadir di majelisnya. Apalagi sang kiai pernah berguru di
madrasah Unwanul Walah yang dibangun Habib tahun 1920-an. Habib Ali
selalu meminta muridnya itu untuk berpidato di majelis taklimnya di
Kwitang.
KH Abdullah Syafi’ie juga pernah berguru pada Habib Alwi
Alhadad, seorang yang banyak ilmunya hingga diminta menjadi Mufti Johor
oleh pemerintah setempat. Kesultanan Johor memberikan penghargaan besar
kepada muftinya itu. Habib Alwi adalah pendiri Daarul Aitam (Panti
Asuhan) di Tanah Abang, Jakarta Pusat (1931), yang hingga kini masih
berdiri dengan megah. Ia juga penulis Masuknya Islam di Indonesia, yang dijadikan salah satu rujukan dalam seminar di Medan (1953).
Pada
peristiwa 52 tahun lalu, saat kampanye Pemilu pertama (September 1955).
Bagaimana gagahnya sang kiai memimpin barisahn ketika melewati Jalan
Kwitang RayaSadagahnya sang kiai memimpin barisahn ketika melewati Jalan
Kwitang Raya — depan toko buku Gunung Agung. Memang, waktu Pemilu 1955,
sang kiai berkampanye untuk Partai Masyumi. Karenanya, sampai akhir
hayatnya dia sangat dekat dengan Mohamad Natsir, Mr Mohamad Roem,
Syafrudin Prawiranegara, Prawoto Mangunpuspito, dan KH Abdulllah Salim.
Bagi
KH Abdullah Syafi’i, beda pendapat dalam agama bukan untuk
diperdebatkan, apalagi menjadi sumber konflik. Beliau dekat dengan
kelompok tradisional yang memang merupakan tema majelis taklimnya. Tapi,
ia juga punya hubungan erat dengan tokoh-tokoh pembaharuan.
Meskipun
sekolahnya hanya sampai kelas dua SD, tapi ketika ia wafat
putra-putrinya ikut mengendalikan perguruan Islam Asyafi’iyah yang
memiliki 63 lembaga. Suatu prestasi yang perlu diacungi jempol.
Menunjukkan ia punya cita-cita besar untuk memajukan umat Islam
Indonesia. Ketika ditanya dari mana dananya, almarhum dengan optimis
mengatakan, ”Setiap niat baik dan ikhlas, pasti Allah akan memberikan
jalan.”
Melihat pesantrennya yang memiliki ribuan santri dari
tingkat SD sampai perguruan tinggi, mungkin sukar dipercaya bahwa untuk
mencapainya almarhum merintisnya dari bawah. Kiai yang kental logat
Betawi-nya dan dikenal rendah hati ini mulai berdakwah dari kandang
sapi. Kemudian, dari kandang sapi dia membangun Masjid Al Barkah yang
diresmikan oleh Habib Ali Kwitang (Nopember 1933). Lalu, ia menyediakan
tanahnya sendiri yang dibeli dengan uang pribadi.
Bagi KH
Abdullah Syafe’ie, perjuangan untuk Islam tidak mengenal akhir. Sebelum
wafat, almarhum masih bercita-citakan untuk membangun pesantren Alquran.
Rupanya, putra KH Abdul Rasyid ini ingin mewujudkan cita-cita sang
ayah. Pada tahun 1970 — 17 tahun lalu, atas wakaf dari pengusaha
Restoran Lembur Kuring, H Sukarno, dia mendapatkan hibah tanah seluas
3,3 hektar di Pulau Air, Jl Sukabumi-Cianjur Km 10,
Saat ini
pesantren Alquran, mulai dari TK sampai SMA, memiliki tanah seluas 27
hektar. Pesantren yang terletak di atas ketinggian 600 meter di atas
permukaan laut itu, kini memiliki lebih dari 700 santri. Pesantren yang
juga menyelenggarakan pendidikan umum itu telah mewisuda 15 santri hafal
Alquran. Empat diantaranya telah diberangkatkan haji.
Seperti
ayahnya, KH Abdul Rasyid AS belum merasa puas atas apa yang telah
dimiliki dan diperbuatnya. ”Saya bercita-cita pesantren ini menjadi
tempat pengkaderan ulama,” katanya.
Dia juga bercita-cita
membangun sebuah universitas Islam berbobot di Pulau Air, serta
mendirikan rumah sakit Islam di lereng pegunungan yang sejuk itu. Kini
siaran radionya makin berkembang dengan adanya AM 792 Radio Asyafi’iyah
dan 95,5 RASfm — keduanya di Jakarta. Selain itu, juga Radio Suara
Pulau Air FM 89,5. ”Khaul walid nanti akan disiarkan langsung oleh ketiga radio tersebut,” katanya.
(Alwi Shahab )
(Alwi Shahab )
Sumber : www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar